Oleh: M. Doni, SH., CPM., CML.
Ijtihad merupakan usaha intelektual dalam memahami dan merumuskan hukum Islam ketika tidak ditemukan nash yang eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pada masa klasik, ijtihad dilakukan oleh para mujtahid dengan syarat-syarat keilmuan yang sangat ketat. Namun, di era kontemporer, kompleksitas kehidupan modern menuntut adanya pembaruan dalam metode ijtihad agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Ijtihad kontemporer hadir sebagai jembatan antara warisan keilmuan tradisional dan tuntutan kehidupan modern. Para ulama dan cendekiawan Muslim masa kini dihadapkan pada berbagai persoalan baru seperti bioetika, teknologi informasi, lingkungan hidup, hingga sistem ekonomi global. Masalah-masalah tersebut memerlukan pendekatan ijtihad yang kontekstual tanpa melepaskan akar tradisi.
Dalam praktiknya, ijtihad kontemporer sering memadukan metode klasik seperti qiyas dan istihsan dengan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ilmu pengetahuan modern. Hal ini mencerminkan semangat inovatif dalam kerangka maqashid al-syari’ah, yaitu menjaga tujuan-tujuan utama syariat seperti perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Namun, tantangan utama ijtihad kontemporer adalah menjaga keseimbangan antara kesetiaan terhadap prinsip-prinsip dasar Islam dan keberanian untuk menafsirkan ulang hukum dalam konteks kekinian. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara ulama, akademisi, dan praktisi dalam merumuskan fatwa dan kebijakan yang solutif dan adaptif.
Dengan demikian, ijtihad kontemporer bukan sekadar penerusan warisan intelektual, melainkan juga wujud tanggung jawab umat Islam dalam menjawab dinamika zaman secara arif dan bijaksana.(**)