PAYAKUMBUH || Di pusat kota di atas Sungai batang agam, Jembatan tua berdiri kokoh meski kian dimakan usia. Bagi mereka yang mengenal kota payakumbuh sejak lama, Jembatan Ratapan Ibu bukan sekadar rangkaian besi dan beton, tetapi saksi hidup perjalanan kota ini dari masa ke masa.
Dibangun sekitar tahun 1818 pada era kolonial Belanda, jembatan ini dulunya memainkan peran penting dalam kehidupan warga. Kini, di hari kemerdekaan republik Indonesia yang ke 80 Jembatan Ratapan Ibu nyaris tak terurus, ditinggalkan dalam kesenyapan, dan mungkin hanya tinggal menunggu waktu untuk benar-benar hilang.
Sejarah Jembatan Ratapan Ibu menyimpan cerita tentang kota payakumbuh di masa lalu. para pejuang yang tertangkap, disuruh berbaris di pinggir jembatan menghadap sungai, lalu serdadu Belanda mengeksekusinya dengan cara menembak membabi buta, kemudian mayat mereka di lempar ke Sungai Batang Agam yang berada di bawah jembatan. Kemudian mayat-mayat tersebut hanyut dibawa arus.
Saat eksekusi itu, juga disaksikan langsung oleh masyarakat sekitar. Dan kaum ibu yang melihatnya tak bisa berbuat banyak selain hanya bisa pasrah dan menangis melihat tragedi itu. Untuk mengenang peristiwa itulah akhirnya jembatan ini diberi nama Jembatan Ratapan Ibu.
Dan mengenang kekejaman Belanda dan perjuangan para pejuang yang di bantai di jembatan ratapan ibu maka dibangun monumen ratapan ibu. Sebuah patung wanita paruh baya mencerminkan seorang ibu yang mengenakkan pakaian Minang yang sedang menangis dan tangannya menunjuk kearah Sungai Batang Agam, seolah-olah menggambarkan kesedihan seorang ibu yang melihat anak dan suami mereka di bantai di jembatan tersebut.
Tetapi lambat laun, nilai sejarah kian terlupakan. Jembatan Ratapan Ibu berdiri sunyi di antara bangunan-bangunan baru. Sekilas, mungkin tidak ada yang istimewa dari jembatan ini dibandingkan fasilitas infrastruktur modern yang ada. Namun, bagi mereka yang tahu kisahnya, Jembatan Ratapan Ibu adalah pengingat akan Kota Payakumbuh di masa lalu.(rb/)