Pasaman Barat, — Seorang pedagang kecil asal Sungai Aur, Hendra Wadi (34), kini tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya.
Ia dijemput paksa oleh aparat Satresnarkoba Polres Pasaman Barat dan langsung ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba, meski barang bukti ditemukan bukan di tangannya melainkan di tumpukan sampah belakang rumahnya.
Kasus ini sontak memunculkan banyak pertanyaan publik. Apakah seseorang bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka, tanpa barang bukti di badannya? Apakah prosedur hukum bisa dijalankan begitu saja, meski melompati hak-hak dasar tersangka?
Atas nama keadilan, tim kuasa hukum dari Kantor Advokat Doni, SH & Partners, resmi menggugat aparat kepolisian lewat mekanisme praperadilan dengan Nomor 5/Pid.Pra/2025/PN.Psb, yang saat ini sedang berlangsung, tanggal 17 Juni 2025 sudah masuk sidang kedua Praperadilan.
“Klien kami diborgol duluan, baru dicari barang buktinya. Bahkan barangnya ditemukan bukan di kamarnya, bukan di tokonya, tapi di luar rumah. Proses seperti ini sangat berbahaya dalam sistem hukum,” tegas M. Doni, S.H., kuasa hukum Hendrawadi, Senin (17/6).
Kronologi yang disampaikan keluarga dan kuasa hukum memantik keprihatinan. Hendra Wadi, yang sehari-hari berjualan di kedai kecil miliknya, awalnya hanya ditanya nama oleh petugas.
Setelah ia menjawab “iya”, borgol langsung diklik ke tangannya. Tak lama setelah itu, barulah aparat memanggil saksi untuk menyaksikan penemuan barang bukti yang entah milik siapa karena tak ada di tubuh, pakaian, kendaraan, atau didalam rumah milik Hendra.
Yang lebih tragis, menurut keluarga, Hendra sempat dipaksa untuk mengakui barang bukti, agar tampak seolah-olah mengakui.
“Klien kami menolak keras. Dia tahu, jika dia memegang barang itu, maka akan selesai. Itu akan dianggap cukup sebagai pengakuan,” ungkap Hendra Saputra, S.H., salah satu kuasa hukum Doni, SH & Rekan.
Tim hukum juga menemukan kejanggalan pada surat perintah penangkapan, yang bernomor SP.Kap/48/V/RES.4.2/2025, tertanggal 19 Mei 2025. Surat ini disebut tak pernah ditunjukkan langsung kepada Hendra saat penangkapan, dan bahkan pihak keluarga yang ada di lokasi juga tidak menerima salinan.
“Padahal menurut KUHAP, surat perintah wajib disampaikan kepada tersangka dan keluarganya. Ini tidak dilakukan. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi bisa menjadi dasar batalnya seluruh proses hukum yang sedang berjalan, dan termasuk perkaran Atensi,” ujar Doni.(ZR)